Jumat, 30 Desember 2011

IKHLAS

Mengenai keikhlasan, Allah SWT Berfirman :
“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan keta’atan kepadaNya dalam [menjalankan] agama...” [QS Al Bayyinah : 5]

“Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih [dari syirik]” [QS Az Zumar : 3]

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai [keridhaan] Allah, tetapi ketaqwaan dari kamulah yang dapat mencapainya ...” [QS Al Hajj : 37]


“... bagi kami amalan kami, bagi kamu amalan kamu, dan hanya kepadaNya kami mengikhlaskan hati ...” [QS Al Baqarah : 139]

Para ulama berbeda pendapat mengenai makna “ikhlas”.

Hasan r.a. berkata “aku pernah bertanya kepada Huzaifah r.a. tentang keikhlasan. Dia berkata, “aku pernah bertanya kepada Rasulullah SAW tentang keikhlasan. Rasulullah SAW bersabda, “aku pernah bertanya kepada Tuhan Yang Maha Mulia lagi Maha Agung tentang keikhlasan. Allah SWT Berfirman, “Keikhlasan adalah salah satu rahasia di antara rahasia-rahasia Ku, yang dititipkan ke dalam hati hamba-hambaKu yang Aku Cintai.”

Dari Abi Idris Al Khaulani r.a., ia berkata : “Rasulullah SAW bersabda, sesungguhnya segala sesuatu yang benar memiliki hakikat, dan seorang hamba tidak akan mengetahui hakikat ikhlas sampai dia menyukai untuk tidak memuji atas suatu pekerjaan yang dia kerjakan untuk Allah SWT.”

Said bin Jabir r.a. berkata, “Ikhlas adalah seorang hamba memurnikan agamanya semata-mata untuk Allah SWT, memurnikan pekerjaannya juga semata-mata karena Allah SWT, tidak mempersekutukanNya di dalam agamaNya, dan tidak memperlihatkan pekerjaannya kepada siapapun.”

Al Fudhail r.a berkata, “Memperlihatkan pekerjaan kepada orang lain termasuk riya dan berbuat karena seseorang adalah kemusyrikan, sedangkan ikhlas adalah engkau takut Allah SWT akan menyiksamu dari kedua perbuatan tersebut.”

Yahya bin Mu’az r.a. berkata, “Ikhlas adalah menjauhkan perbuatan dari segala kekurangan, seperti terpisahnya susu dari kotoran dan darah.”

Abu Al Husein Al Busyanji r.a. berkata, “Ikhlas adalah perbuatan yang tidak dicatat oleh kedua malaikat [Raqib dan Atid], tidak dirusak oleh setan, dan tidak pula terlihat oleh manusia.”

Ruwaim r.a. berkata, “Ikhlas adalah hilangnya pandanganmu dari perbuatan[mu].” Disebutkan pula bahwa “Ikhlas” adalah sesuatu yang menjadi akhir dari kebenaran dan yang menjadi tujuan dari kebenaran. Ada pula yang mengatakan bahwa “Ikhlas” adalah sesuatu yang tidak disamarkan oleh dosa, dan tidak pula diringankan dengan pentakwilan [penafsiran]. Dikatakan pula bahwa “Ikhlas” adalah segala sesuatu yang tersembunyi dari makhluk dan lepas dari segala bentuk kecintaan.

Huzaifah Al Mur’isyi berkata, “Ikhlas adalah seimbangnya perbuatan seorang hamba, baik yang tampak maupun yang tidak.” Sementara Yaqub Al Makfuf berkata, “Ikhlas adalah seorang hamba menyembunyikan kebaikannya sebagaimana dia menyembunyikan keburukannya.”

Diriwayatkan dari Anas bin Malik r.a., ia berkata, “Rasulullah SAW bersabda, ada tiga hal yang tidak dapat menipu hati seorang mukmin, yaitu perbuatan yang ikhlas kepada Allah, nasihat kepada penguasa, dan keharusan berkumpul dengan kaum muslimin.”

Disebutkan pula bahwa makna “Ikhlas” adalah menfokuskan keta’atan dan tujuan kepada Allah SWT, yaitu kehendak seorang hamba dengan menaatiNya agar dia dekat dengan Tuhannya di antara segenap ciptaanNya. Perbuatannya itu tidak ditujukan untuk manusia, tidak pula mengharapkan pujian, tidak pula mengharap simpati, dan tidak pula dibarengi celaan dari dirinya.

Dzu An Nun Al Mishri r.a. berkata, “Ikhlas adalah sesuatu yang tidak sempurna kecuali dengan kebenaran di dalam perbuatan itu, dengan disertai kesabaran pada saat melakukannya. Sementara kebenaran itu sendiri tidak akan sempurna, melainkan jika disertai keikhlasan di dalamnya dan dilakukan secara terus-menerus. Ada tiga ciri keikhlasan, yaitu hilangnya pujian dan celaan dari manusia [secara umum], melupakan untuk melihat amal-amal perbuatan, dan tidak mengharapkan pahala atas perbuatan[nya] di akhirat.”

Abu Utsman Al Maghribi r.a. berkata, “Ikhlas adalah sesuatu yang tidak menyisakan bagian bagi jiwa pada saat itu pula. Ini adalah ikhlas bagi orang-orang awam. Adapun ikhlas bagi orang-orang khusus [khawas] adalah segala sesuatu yang muncul atas mereka, namun tidak dengan [kesadaran] mereka sehingga keta’atan akan tampak dari mereka, sementara mereka sendiri berada dalam pengasingan [diri], dan penglihatan tidak akan tertuju kepada mereka sebagaimana sewajarnya. Itulah ikhlas bagi orang-orang khusus [khawas].”

Abu Bakar Ad Diqaqi r.a. berkata, “kekurangan setiap orang ikhlas di dalam keikhlasannya adalah melihat keikhlasannya. Apabila Allah SWT menghendaki untuk menghabiskan keikhlasannya maka dia akan jatuh dari keikhlasannya dengan melihat keikhlasannya. Akhirnya dia menjadi orang yang “habis”, bukan orang yang “ikhlas” [Mukhlish].”

Sahal r.a. berkata, “tidak ada yang mengetahui sifat riya kecuali orang yang ikhlas.”

Abu Utsman r.a. berkata, “Ikhlas adalah melupakan untuk melihat makhluk dengan menfokuskan pandangan kepada Sang Khalik.”

Ruwaim r.a. berkata, “Ikhlas dalam beramal adalah amal yang dikerjakan oleh seseorang tanpa mengharapkan pengganti [pahala] di dunia dan akhirat, dan tidak pula mengharapkan amalnya itu dicatat oleh kedua malaikat [Raqib dan Atid].”

Ibnu Abdillah r.a. pernah ditanya, “Apakah yang paling memberatkan jiwa ?.” Dia berkata, “Ikhlas. karena jiwa tidak mendapatkan bagian apapun darinya.” Disebutkan pula bahwa ikhlas adalah hendaknya tidak seorangpun yang menyaksikan perbuatan kamu, selain Allah SWT.
(sumber : http://pejalan-cahaya.blogspot.com/2008/07/ikhlas.html)

0 komentar:

Posting Komentar