Hadits

I.      Pengertian Hadits


Hadits adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, sifat-sifat, keadaan dan himmah nya


Taqrir adalah perbuatan atau keadaan sahabat yang diketahui Rosulullah dan beliau mendiamkannya atau mengisyaratkan sesuatu yang menunjukkan perkenannya atau beliau tidak menunjukkan pengingkarannya. 

Himmah adalah hasrat beliau yang belum terealisir, contohnya hadits riwayat Ibnu Abbas :
“Dikala Rosulullah saw berpuasa pada hari ‘Asura dan memerintahkan untuk dipuasai, para sahabat menghadap kepada Nabi, mereka berkata : ‘Ya Rasulullah, bahwa hari ini adalah yang diagungkan oleh Yahudi dan Nasrani’, Rasulullah menyahuti : ‘Tahun yang akan datang, Insya Allah aku akan berpuasa tanggal sembilan’.” (HR Muslim dan Abu Dawud)

tetapi Rasulullah tidak sempat merealisasikannya, disebabkan beliau telah wafat.
Menurut Imam Syafi’i bahwa menjalankan himmah itu termasuk sunnah, tetapi Imam Syaukani mengatakan tidak termasuk sunnah karena belum dilaksanakan oleh Rasulullah.

Khabar adalah segala sesuatu yang disandarkan kepada nabi dan para sahabat, jadi setiap hadits termasuk khabar tetapi tidak setiap khabar adalah hadits.

Atsar adalah segala sesuatu yang lebih umum dari hadits dan khabar, yaitu termasuk perkataan tabi’in, tabi’it-tabi’in dan para ulama salaf.

Biasanya perkataan yang disandarkan atau berasal dari selain Nabi disebut atsar.

Sunnah adalah Jalan hidup atau kebiasaan yang ditempuh dalam berbuat dan ber’itiqad (berkeyakinan). Dikatakan sunnah Nabi jika itu disyariatkan, ditempuh dan diridloi oleh Nabi.

Hadits Qudsi adalah hadits yang mengandung kalimat langsung perkataan Allah, cirinya dimulai dengan “Allah berkata…”

Perbedaan Hadits Qudsi dengan Al-Qur’an :
a.       Semua lafad ayat-ayat Al-Qur’an adalah mukjizat dan mutawatir, sedang Hadits Qudsi tidak.
b.      Perlakuan terhadap Al-Qur’an -dilarang menyentuhnya bagi yang berhadas kecil, dilarang membacanya bagi yang ber hadas besar- tidak berlaku bagi Hadits Qudsi.
c.       Membaca Al-Qur’an setiap hurufnya mendatangkan pahala, sedang membaca Hadits Qudsi tidak.
d.      Al-Qur’an semua susunan kata-katanya redaksinya berasal dari Allah, sedangkan Hadits Qudsi redaksi kata-katanya terserah Rasulullah.




II.   Kedudukan Hadits Dalam Hukum Islam


Sumber Hukum Islam yang pertama adalah Al-Qur’an dan yang kedua adalah Hadits.

Sebab-sebab Al-Qur’an lebih tinggi derajadnya dari hadits :
1.      Al-Qur’an kita terima dari Nabi dengan jalan Qoth’i (pasti) karena didengar dan dihafal oleh sejumlah sahabat dan ditulis oleh para penulis wahyu. Sedangkan hadits tidak semuanya dihafal atau dituliskan dan tranmisinya berupa dzan (dugaan kuat).
2.      Para sahabat mengumpulkan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan mentranmisikan materinya kepada umat dalam keadaan aslinya (redaksinya) sehuruf pun tidak berubah, tidak bertambah dan tidak berkurang dan mushaf itupun terpelihara dengan sempurna dari masa ke masa. Sedangkan materi hadits dapat diriwayatkan dengan maknanya saja.
3.      Semua ayat Al-Qur’an Mutawatir. Sedangkan hadits kebanyakan tidak mutawatir.
4.      Al-Qur’an merupakan pokok yang memuat prinsip dasar dan hadits adalah penjelas dari yang pokok atau hadits adalah cabang dari yang pokok. Bila hadits yang cabang mendatangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an yang pokok maka ditolak.
5.      Ijma Sahabat, yaitu Khalifah Abu Bakar, Umar bila akan memutuskan hukum suatu perkara yang belum ada keputusan hukumnya pada masa Rasulullah maka mereka merujuk ke Al-Qur’an, bila tidak ditemukan di Al-Qur’an maka Khalifah mengumpulkan sahabat-sahabat besar untuk ditanyakan apakah ada yang pernah mendengar Hadits Rosulullah, mengenai masalah tersebut, bila ada yang menyebutkan haditsnya maka Khalifah memutuskan hukum berdasarkan hadits tersebut. Metode tersebut juga dilakukan oleh Usman dan Ali dan tidak ada yang menyelisihi mengenai hal ini.
6.      Dalam hadits sendiri menunjukkan bahwa Al-Qur’an lebih tinggi kedudukannya, yaitu hadits Muadz Bin Jabal ra yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Tirmidzi, yang menjelaskan urut urutan sumber hukum islam yaitu : Al-Qur’an, Hadits dan “ajtahidu ro’yii – ijtihad dengan akal

Sumber hukum Islam yang ketiga adalah Ijma (konsensus) ulil-amri (pemegang urusan yaitu umaro dan ulama) kemudian yang keempat adalah dalil akal.

Dalil akal ini ada sekitar 40 tools yang dibahas secara terperinci dalam ilmu ushul fikih, yang terkenal adalah :
1.      Qiyas (analogi)
2.      Ihtisan (keluar dari qiyas umum karena ada sebab yang lebih kuat)
3.      Maslahah Mursalah (keluar dari qiyas umum dengan pertimbangan kemaslahatan)
4.      Saddudz Dzari’ah (menutup jalan yang menuju kemudhorotan)
5.      Ar Raju’u ilal manfa’ati wal madharrati (mempertimbangkan kemanfaatan dan kemudhorotan)
6.      Istishab (hukum yang diyakini menetap sebelumnya tidak dapat dirubah oleh yang masih meragukan)
7.      Urf (kebiasaan yang berlaku pada suatu kaum dapat menjadi hukum).
dan lain lain sampai sekitar 40 macam.

Fungsi Hadits terhadap Al-Qur’an :
1.      Memperkuat hukum yang ada di Al-Qur’an.
2.      Menerangkan (bayan) hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
3.      Merinci hukum yang disebutkan dalam dalam Al-Qur’an.
4.      Mentakhsish (meng khususkan) dari ketentuan yang umum dari Al-Qur’an.
5.      Menghapus (nasakh) hukum yang ada di Al-Qur’an.
6.      Melengkapi hukum yang belum ada di Al-Qur’an.
Untuk memahami dengan baik tentang hal ini diperlukan penguasaan ilmu-ilmu Al-Qur’an (ulumul Qur’an) dan menguasai nahwu-sharaf bahasa Arab serta menguasai kaidah-kaidah yang mengatur kapan suatu hadits dapat mentakhsish atau me nasakh Al-Qur’an. Kemampuan ini harus dimiliki oleh seorang mujtahid. 


III.      Sejarah dan Perkembangan Ilmu Hadits


A.     Periode Pertama (Jaman Rosul)
-         Para sahabat bergaul dan berinteraksi langsung dengan Nabi, sehingga setiap permasalahan atau hukum dapat ditanyakan langsung kepada Nabi.
-         Para sahabat lebih concern dengan menghapal dan mempelajari Al-Qur’an
-         Secara umum Rasulullah saw melarang menuliskan hadits karena takut tercampur baur dengan ayat Al-Qur’an karena wahyu sedang / masih diturunkan.
-         Secara umum sahabat masih banyak yang buta huruf sehingga tidak menuliskan hadits, mereka meriwayatkan hadits mengandalkan hafalan secara lisan.
-         Sebagian kecil sahabat –yang pandai baca tulis- menuliskan hadits seperti : Abdullah Bin Amr Bin Ash yang mempunyai catatan hadits dan dikenal sebagai “Shahifah Ash Shadiqah” juga Jabir Bin Abdullah Al Anshary mempunyai catatan hadits yang dikenal sebagai “Shahifah Jabir
-         Pada event tertentu orang arab badui ingin fatwa Nabi dituliskan, maka Nabi meluluskan permintaannya untuk menuliskan hadits untuknya.
-         Para sahabat masih disibukkan dengan peperangan penaklukan kabilah-kabilah di seluruh jazirah Arab.
-         Para sahabat yang belum paham tentang suatu hukum bisa saling bertanya kepada yang lebih tahu dan saling mempercayai penuturannya.

B.     Periode Kedua (Masa Khulafaur Rasyidin)
-         Sebagian sahabat tersebar keluar jazirah Arab karena ikut serta dalam jihad penaklukan ke daerah Syam, Iraq, Mesir, Persia.
-         Pada daerah taklukan yang baru masuk Islam, Khalifah Umar menekankan agar mengajarkan Al-Qur’an terlebih dahulu kepada mereka.
-         Khalifah Abu Bakar meminta kesaksian minimal satu orang bila ada yang meriwayatkan hadits kepadanya.
-         Khalifah Ali meminta bersumpah orang yang meriwayatkan hadits
-         Khalifah Umar melarang sahabat besar keluar dari kota Madinah dan melarang memperbanyak periwayatan hadits.
-         Setelah Khalifah Umar wafat, sahabat besar keluar kota Madinah tersebar ke Ibukota daerah taklukkan untuk mengajarkan agama.

C.     Periode Ketiga (Masa Sahabat Kecil dan Tabi’in Besar)
-         Para sahabat besar telah terpencar kelur dari Madinah.
-         Jabir pergi ke Syam menanyakan hadits kepada sahabat Abdullah Bin Unais Al Anshary.
-         Abu Ayyub Al Anshary pergi ke Mesir menemui sahabat Utbah Bin Amir untuk menanyakan hadits.
-         Masa ini sahabat besar tidak lagi membatasi diri dalam periwayatan hadits, yang banyak meriwayatkan hadits antara lain :
a.       Abu Hurairah (5347 hadits)
b.      Abdullah Bin Umar (2360 hadits)
c.       Anas Bin Malik (2236 hadits)
d.      Aisyah, Ummul Mukminin (2210 hadits)
e.       Abdullah Bin Abbas (1660 hadits)
f.        Jabir Bin Abdullah (1540 hadits)
g.       Abu Sa’id Al Kudri (1170 hadits)
h.       Ibnu Mas’ud
i.         Abdullah Bin Amr Bin Ash

 -   Pada waktu pemerintahan Khalifah Ali, terjadi pemberontakan oleh Muawiyah Bin Abu Sofyan, setelah peristiwa tahkim (arbitrase) muncul kelompok (sekte) kawarij yang memusuhi Ali dan Muawiyah. Setelah terbunuhnya Khalifah Ali, muncul sekte Syiah yang mendukung Ali dan keturunannya sementara kelompok jumhur (mayoritas) tetap mengakui pemerintahan Bani Umayah. Sejak saat itu mulai bermunculan hadits palsu yang bertujuan mendukung masing-masing kelompoknya. Kelompok yang terbanyak membuat hadits palsu adalah Syiah Rafidah.


D.     Periode Ke-empat (Masa Pembukuan Hadits)
-         Pada waktu Umar Bin Abdul Aziz (Khalifah ke-8 Bani Umayyah) yang naik tahta pada tahun 99 H berkuasa, beliau dikenal sebagai orang yang adil dan wara’ bahkan sebagian ulama menyebutnya sebagai Khulafaur Rasyidin yang ke-5, tergeraklah hatinya untuk membukukan hadits dengan motif :
a.       Beliau khawatir ilmu hadits akan hilang karena belum dibukukan dengan baik.
b.      Kemauan beliau untuk menyaring hadits palsu yang sudah mulai banyak beredar.
c.       Al-Qur’an sudah dibukukan dalam mushaf, sehingga tidak ada lagi kekhawatiran tercampur dengan hadits bila hadits dibukukan.
d.      Peperangan dalam penaklukan negeri negeri yang belum Islam dan peperangan antar sesama kaum Muslimin banyak terjadi, dikhawatirkan ulama hadits berkurang karena wafat dalam peperangan-peperangan tersebut.

-    Khalifah Umar menginstruksikan kepada Gubernur Madinah Abu Bakar Bin Muhammad Bin ‘Amr Bin Hazm (Ibnu Hazm) untuk mengumpulkan hadits yang ada padanya dan pada tabi’in wanita ‘Amrah Binti ‘Abdur Rahman Bin Sa’ad Bin Zurarah Bin ‘Ades, murid Aisyah-Ummul Mukminin.

Khalifah Umar Bin Abdul Azis menulis instruksi kepada Ibnu Hazm :

“Lihat dan periksalah apa yang dapat diperoleh dari hadits Rasulullah, lalu tulislah karena aku takut akan lenyap ikmu disebabkan meninggalnya ulama dan jangan anda terima selain hadits Rasulullah saw dan hendaklah anda sebarkan ilmu dan mengadakan majelis-majelis ilmu supaya orang yang tidak mengetahui dapat mengetahuinya, lantaran tidak lenyap ilmu hingga dijadikannya barang rahasia.”

-         Berdasarkan instruksi resmi Khalifah itu, Ibnu Hazm minta bantuan dan menginstruksikan kepada Abu Bakar Muhammad Bin Muslim Bin Ubaidillah Bin Syihab az Zuhry (Ibnu Syihab Az Zuhry)-seorang ulama besar dan mufti Hijaz dan Syam- untuk turut membukukan hadits Rasulullah saw.
-         Setelah itu penulisan hadits pun marak dan dilakukan oleh banyak ulama abad ke-2 H, yang terkenal diantaranya :
a.       Al-Muwaththa’, karya Imam Malik Bin Anas (95 H – 179 H).
b.      Al Masghazy wal Siyar, hadits sirah nabawiyah karya Muhammad Ibn Ishaq (150 H).
c.       Al Mushannaf, karya Sufyan Ibn ‘Uyainah (198 H)
d.      Al Musnad, karya imam Abu Hanifah (150 H)
e.       Al Musnad, karya imam Syafi’i (204 H)

E.      Periode ke-lima (Masa Kodifikasi Hadits)
1.      Periode Penyaringan hadits dari Fatwa-fatwa sahabat (abad ke-III H)
-         Menyaring hadits nabi dari fatwa-fatwa sahabat nabi
-         Masih tercampur baur hadits sahih, dhaif dan maudlu’ (palsu).
-         Pertengahan abad tiga baru disusun kaidah-kaidah penelitihan ke sahihan hadits.
-         Penyaringan hadits sahih oleh imam ahli hadits Ishaq Bin Rahawaih (guru Imam Bukhary).
-         Penyempurnaan kodifikasi ilmu hadits dan kaidah-kaidah pen sahihan suatu hadits.
-         Penyusunan kitab Sahih Bukhory
-         Penyusunan enam kitab induk hadits (kutubus sittah), yaitu kitab-kitab hadits yang diakui oleh jumhur ulama sebagai kitab-kitab hadits yang paling tinggi mutunya, sebagian masih mengandung hadits dhaif tapi ada yang dijelaskan oleh penulisnya dan dhaifnya pun yang tidak keterlaluan dhaifnya, ke enam kuttubus shittah itu adalah :
a.       Sahih Bukhory
b.      Sahih Muslim
c.       Sunan Abu Dawud
d.      Sunan An Nasay
e.       Sunan At-Turmudzy
f.        Sunan Ibnu Majah
2.      Periode menghafal dan meng isnadkan hadits (abad ke-IV H)
-         Para ulama hadits berlomba-lomba menghafalkan hadits yang sudah tersusun pada kitab-kitab hadits.
-         Para ulama hadits mengadakan penelitian hadits-hadits yang tercantum pada kitab-kitab hadits.
-         Ulama hadits menyusun kitab-kitab hadits yang bukan termasuk kuttubus shittah.
3.      Periode Klasifikasi dan Sistimasi Susunan Kitab-Kitab Hadits (abad ke-V H s.d 656 H, jatuhnya Baghdad)
-         Mengklasifikasikan hadits dan menghimpun hadits-hadits yang sejenis.
-         Menguraikan dengan luas (men syarah) kitab-kitab hadits.
-         Memberikan komentar (takhrij) kitab-kitab hadits.
-         Meringkas (ikhtisar) kitab-kitab hadits.
-         Menciptakan kamus hadits.
-         Mengumpulkan (jami’) hadits-hadits bukhory-Muslim
-         Mengumpulkan hadits targhib dan tarhib.
-         Menyusun kitab athraf, yaitu kitab yang hanya menyebut sebagian hadits kemudian mengumpulkan seluruh sanadnya, baik sanad kitab maupun sanad dari beberapa kitab.
-         Menyusun kitab istikhraj, yaitu mengambil sesuatu hadits dari sahih Bukhory Muslim umpamanya, lalu meriwayatkannya dengan sanad sendiri, yang lain dari sanad Bukhary atau Muslim karena tidak memperoleh sanad sendiri.
-         Menyusun kitab istidrak, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang memiliki syarat-syarat Bukhary dan Muslim atau syarat salah seorangnya yang kebetulan tidak diriwayatkan atau di sahihkan oleh keduanya.

F.      Periode ke-enam (dari tahun 656 H – sekarang)
-         Mulai dari jatuhnya Baghdad oleh Hulagu Khan dari Mongol tahun 656 H – sekarang ini.
-         Menertibkan, menyaring dan menyusun kitab kitab takhrij.
-         Membuat kitab-kitab jami’
-         Menyusun kitab-kitab athraf
-         Menyusun kitab-kitab zawaid, yaitu mengumpulkan hadits-hadits yang tidak terdapat dalam kitab-kitab yang sebelumnbya kedalam sebuah kitab yang tertentu.

IV.       Pembagian Ilmu Hadits


Ilmu hadits dibagi menjadi dua : Hadits Riwayah dan Hadits Dirayah (mushthalahul hadits)
a.    Hadits Riwayah adalah suatu ilmu untuk mengetahui cara-cara penukilan, pemeliharaan dan penulisan apa apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir dan lain sebagainya.

Yaitu bagaimana cara menerima, menyampaikan kepada orang lain dan memindahkan atau menuliskan dalam kitab hadits. Dalam menyampaikan dan menuliskan hadits, hanya dinukil dan dituliskan apa adanya, baik mengenai matan maupun sanadnya.
Ilmu ini tidak berkompeten membicarakan apakah matannya ada yang janggal atau ber ‘illat, apakah sanadnya terputus atau bersambungan. Lebih jauh tidak dibahas hal ihawa dan sifat sifat perawinya.
Faedah mengetahui ilmu ini adalah untuk menghindari adanya kemungkinan salah kutip terhadap apa yang disandarkan kepada Nabi Muhammad saw.

b.      Hadits Dirayah adalah kaidah-kaidah untuk mengetahui hal ihwal sanad, matan, cara-cara menerima dan menyampaikan hadits, sifat-sifat rawi dan lain sebagainya.
      Ilmu hadits dirayah ini disebut juga ilmu Mushthalahul hadits. Kitab yang dianggap paling ‘mapan’ menerangkan ilmu Mushthalahul hadits adalah kitab “Al-Kilafah” karangan Al-Khatib Abu Bakar Al-Baghdady (meninggal tahun 463 H).

Faedahnya untuk menetapkan ke sahihan suatu hadits dan untuk menetapkan apakah hadits tersebut dapat diterima (maqbul) untuk diamalkan atau ditolak (mardud) untuk ditinggalkan.



V.   Ilmu Mushthalah Hadits


Dalam memperlajari mushthalah hadits atau dalam menentukan derajad (ke-sahih-an) suatu hadits akan selalu terkait dalam 3 hal pokok yaitu : Rawi, Sanad dan Matan

Unsur-unsur yang harus ada dalam sebuah hadits :
a.      Rawi
Rawi adalah orang yang menyampaikan hadits, contoh dalam hadits :
Warta dari ummul Mukminin Aisyah ra, ujarnya : “Rasulullah telah bersabda : ‘barang siapa yang mengada-adakan sesuatu yang bukan termasuk urusan (agamaku), maka ia tertolak’.”
(Hadits Riwayat Bukhary – Muslim)

dalam hadits diatas Aiysah ra adalah rawi pertama dan Imam Bukhary dan Imam Muslim adalah rawi terakhir. Antara rawi pertama dan rawi terakhir tentunya ada beberapa rawi lagi yang biasanya tidak disebutkan untuk mempersingkat penulisan.

b.   Matan
Matan adalah materi atau isi dari hadits.
Dalam meriwayatkan atau mentransmisikan materi (isi) hadits ada dua jalan, yang keduanya tidak dilarang oleh Rasulullah saw, yaitu :
1.      Dengan lafad yang sama persis dari Rasulullah.
2.      Dengan maknanya saja, sedang redaksinya disusun sendiri oleh orang yang meriwayatkannya.


c.       Sanad
Sanad adalah jalan atau jalur transmisi yang menghubungkan materi hadits (matan) kepada Rasulullah saw.
Misalnya seperti kata Imam Bukhary :
“Telah mewartakan kepadaku Muhammad Bin al-Mutsanna, ujarnya : ‘Abdul Wahhab ats-tsaqafy telah mengabarkan kepadaku, ujarnya : Telah bercerita kepadaku Ayyub atas pemberitaan Abi Qilabah dari Anas dari Nabi Muhammad saw, beliau bersabda : ‘Tiga perkara, yang barang siapa mengamalkannya niscaya memperoleh kelezatan iman, yakni : 1. Allah dan Rasul-NYA hendaknya lebih dicintai daripada selainnya. 2. Kecintaannya kepada seseorang, tak lain karena Allah semata-mata dan 3. Keengganannya kembali kepada kekufuran, seperti keengganannya dicampakkan ke neraka’.”

Dalam hal ini materi hadits diterima oleh Imam Bukhary dari sanad pertama Muhammad Bin al-Mutsanna, terus bersambung sampai dari sanad terakhir yaitu sahabat Anas ra.
Dengan demikian Imam Bukhary menjadi sanad pertama bagi kita dan sebagai rawi terakhir pada hadits tersebut diatas.

Dalam ilmu hadits sanad ini merupakan neraca untuk menimbang sahih atau tidaknya suatu hadits. Andaikata salah satu rawi dalam jalur transmisi (sanad) itu ada yang fasik atau tertuduh dusta maka hadits tersebut menjadi dhaif (lemah).


5.1.  Pembagian Derajad / Jenis Hadits

Pembagian hadits ahad berdasarkan derajad ke sahihan :
a.    Sahih
b.      Hasan
c.    Dhoif

A. Hadits Sahih

Hadits sahih adalah hadits yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya bersambung-sambung, tidak ber ‘illat dan tidak janggal (syadz)

Jadi suatu hadits dapat dikatakan sahih apabila memenuhi lima persyaratan :
1.      Semua rawinya adil.
2.      Semua rawinya sempurna ingatan (dlabith)
3.      Sanadnya bersambung-sambung tidak putus
4.      Tidak ber ‘iilat (cacat tersembunyi)
5.      Tidak janggal (Syadz)

Keadilan Rawi
Keadilan seorang rawi menurut Ibnu Sam’any harus memenuhi empat syarat :
1.      Selalu memelihara perbuatan taat dan menjauhi maksiat.
2.      Menjauhi dosa-dosa kecil yang dapat menodai agama dan sopan santun.
3.      Tidak melakukan perkara-perkara mubah yang dapat menggugurkan iman kepada qadar dan mengakibatan penyesalan.
4.      Tidak mengikuti pendapat salah satu sekte yang bertentangan dengan syara’.

Sebab-sebab yang menggugurkan keadilan seorang rawi :
1.      Diketahui dusta.
2.      Tertuduh dusta.
3.      Fasik.
4.      Tidak dikenal (jahalah)
5.      Penganut sekte bid’ah yang terang terangan dan bersangatan membela paham bid’ahnya.
Ulama-ulama hadits menerima periwayatan tokoh-tokoh syiah yang dikenal benar dan kepercayaan.

Perawi yang tidak langsung ditolak periwayatannya :
a.       Orang yang diperselisihkan tentang cacatnya dan tentang keadilannya.
b.      Orang yang banyak kesilapan dan menyalahi imam-imam yang kenamaan/kepercayaan.
c.       Orang yang banyak lupa.
d.      Orang yanng rusak akal (pikun) di masa tuanya.
e.       Orang yang tidak baik hafalannya.
f.        Orang yang menerima hadits dari sembarang orang saja, baik dari orang kepercayaan maupun yang tidak kepercayaan.

Kalau ada pertanyaan : ‘Bagaimana mengetahui keadilan seorang rawi ?’. Jawabannya adalah dengan mempelajari ilmu Jarh wat Ta’dil, yaitu suatu ilmu yang membahas tentang memberikan kritikan adanya aib atau memberikan penilaian adil kepada seorang rawi. Menurut Dr. ‘Ajjaj Al-Khatib Ilmu Jarh wat Ta’dil adalah suatu ilmu yang membahas hal-ihwal para rawi dari segi diterima atau ditolak periwayatannya.

Keadilan seorang rawi dapat diketahui dengan salah satu dari tiga kaidah berikut :
1.      Semua sahabat nabi adalah adil, baik yang terlibat dalam masa pertikain dan peperangan antar sesama kaum muslimin ataupun yang tidak terlibat.
Sahabat nabi adalah semua orang yang pernah bertemu Nabi Muhammad saw dengan pertemuan yang wajar sewaktu Rasulullah saw masih hidup dan dalam keadaan Islam lagi beriman. 
2.      Dengan kepopulerannya dikalangan ahli ilmu bahwa dia terkenal sebagai orang yang adil, seperti Anas Bin Malik, Sufyan Ats Tsaury, Syub’ah bin Al Hajjaj, Asy Syafi’i, Ahmad Bin Hanbal, dsb.
3.      Dengan pujian dari seseorang yang adil, yaitu ditetapkan sebagai rawi yang adil oleh seorang yang adil, yang semula rawi itu belum dikenal atau belum populer sebagai rawi yang adil.
Penetapan tentang kecacatan (tidak adil) juga dapat ditentukan dengan kepopulerannya sebagai orang yang mempunyai cacat sifat adilnya atau berdasarkan pentarjihan dari seseorang yang adil.

Men-ta’dil-kan atau men-tajrih-kan seorang rawi itu ada kalanya tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) dan adakalanya disebutkan sebab-sebabnya (mufassar). Untuk yang tidak disebutkan sebab-sebabnya (mubham) diperselisihkan oleh para ulama tentang diterima atau tidaknya, tapi jumhur ulama menetapkan bahwa men-ta’dil-kan tanpa menyebut sebab-sebabnya diterima, karena sebab-sebab itu banyak sekali, sehingga hal itu kalau disebutkan semua tentu mubadzir. Adapun men-tajrih-kan, tidak diterima, kalau tanpa menyebutkan sebab-sebabnya, karena jarh itu dapat berhasil dengan satu sebab saja.

Tentang jumlah orang yang dipandang cukup untuk men-ta’dil-kan dan men-tajrih-kan rawi masih diperselisihkan apakah minimal dua orang atau cukup satu orang saja.

Bila terjadi pertentangan antara jarh dan ta’dil pada seorang rawi, yakni sebagian ulama men-ta’dil-kan dan sebagian ulama men-tajrih-kan, maka masih diperselisihkan tapi jumhur ulama berpendapat Jarh harus didahulukan secara mutlak, walaupun jumlah yang men-ta’dil-kan lebih banyak daripada yang men-jarh-kan. Sebab bagi orang yang men-jarh-kan tentu mempunyai kelebihan ilmu yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan, dan kalau orang yang men-jahr-kan dapat membenarkan orang yang men-ta’dil-kan tentang apa yang diberitakan menurut lahirnya saja, sedang orang yang men-jahr-kan memberitakan urusan batiniyah yang tidak diketahui oleh orang yang men-ta’dil-kan.

Perlu diperhatikan juga penilaian jahr oleh beberapa Muhaditsin yang terkenal keterlaluan dan berlebihan dalam men tajrih seorang rawi, yaitu Abu Hatim, An Nasa’iy, Yahya Bin Ma’in, Yahya Bin Khaththan dan Ibnu Hibban.

Kitab-kitab yang membahas jahr dan ta’dil rawi-rawi hadits yang terkenal diantaranya :
-         Ad-Dlu’afa’ karya Imam Bukhary.
-         Lisanu’l Mizan karya Al-hafidz Ibnu Hajar Asqolany.


Kesempurnaan ingatan Rawi

Yang dimaksud sempurna ingatan (dlabith) adalah orang yang kuat ingatannya, artinya ingatannya lebih banyak daripada lupanya, dan kebenarannya lebih banyak daripada kesalahannya. Kalau seseorang sampai mempunyai ingatan (hafalan) yang kuat, sejak dari menerima sampai kepada menyampaikan kepada orang lain dan ingatannya itu sanggup dikeluarkan kapan saja dan dimana saja dikehendaki orang tersebut disebut dlabith’ush-shadri. Kalau berdasarkan buku catatan disebut dlabithu’l kitab.

Cacat-cacat yang merusakkan ke sahihan hadits :
a.       Terlalu lengah dalam penerimaan hadits.
b.      Banyak salah dalam meriwayatkan hadits.
c.       Menyalahi orang-orang kepercayaan (syadz).
d.      Banyak berperasangka.
e.       Tidak baik hafalannya.

Sanad bersambung-sambung tidak putus

Yang dimaksud sanadnya bersambung-sambung tidak putus yaitu sanad yang selamat dari keguguran. Dengan kata lain, bahwa tiap-tiap rawi dapat saling bertemu dan menerima langsung dari guru yang memberikannya.

Untuk mengetahui apakah sanad hadits itu bersambungan tidak putus atau tidak perlu mempelajari dua macam ilmu yaitu : Ilmu Rijalil Hadits, ilmu Thabaqoh Ruwah dan Ilmu Tawarihi Ruwah.

Ilmu Rijalil Hadits adalah ilmu pengetahuan yang membahas hal-ihwal dan sejarah kehidupan para rawi dari golongan sahabat, tabiin dan tabiit-tabiin.

Ilmu Thabaqoh Ruwah  adalah ilmu yang membahas pengelompokan sahabat nabi dalam kelompok (thabaqoh) yang tertentu. Thabaqoh pertama : sahabat yang pertama masuk Islam, thabaqoh kedua : sahabat yang masuk Islam sebelum musyawarah orang musyrik Mekkah di Darun Nadwah yang berencana membunuh Nabi Muhammad saw, thabaqoh ketiga : sahabat yang hijrah ke habsy, thabaqoh keempat : sahabat peserta bai’at aqabah pertama, thabaqot kelima : sahabat yang menghadiri bai’at aqobah kedua, thabaqoh keenam : Muhajirin yang menyusul Nabi di Quba sebelum memasuki Madinah, thabaqoh ketujuh : sahabat peserta perang Badar, thabaqot kedelapan : sahabat yang hijrah ke Madinah setelah perang Badar, tahbaqot kesembilan : sahabat yang menghadiri bai’at baitur ridwan, thabaqot kesepuluh : sahabat yang hijrah setelah perjanjian Hudaibiyah sebelum futuh Mekkah, thabaqot kesebelas : sahabat yang masuk Islam setelah futuh Mekkah, thabaqot kedua belas : anak-anak yang melihat Nabi Muhammad saw setelah Futuh Mekkah dan haji wada’.

Kitab terbaik yang membahas sejarah, hal-ihwal dan thabaqot sahabat adalah kitab “Al-Isabah” karya Al-Hafidz Ibnu Hajar Asqolany.

Ilmu Tawarihi Ruwah adalah ilmu untuk mengetahui para rawi hal-hal yang bersangkutan dengan meriwayatkan hadits, mencakup keterangan tentang hal-ihwal para rawi, tanggal lahir, tanggal wafat, guru-gurunya, kapan tanggal mendengar dari gurunya, orang-orang yang berguru kepadanya, kota dan kampung halamannya, perantauannya, tanggal kunjungannya ke negeri yang berbeda-beda, mendengarnya hadits dari sebagian guru, sebelum dan sesudah ia lanjut usia dan sebagainya yang ada hubungannya dengan masalah per haditsan.

Kitab-kitab ilmu Tawarihi Ruwah yang tekenal diantaranya :
-         At-Tarikh’ul-Khabir karya Imam Bukhary. Berisi biografi 40.000 perawi hadits.
-         Tarikh Nishabur karya Imam Muhammad Bin Abdullah Al-Hakim An-Nishabury. Kitab ini merupakan kitab tarikh terbesar yang banyak faedahnya.
-         Tarikh Baghdad karya Imam Al-Khatib Al-Baghdady. Kitab ini memuat biografi ulama-ulama sebanyak 7.831 orang.

‘illat (cacat tersembunyi)

‘Illat hadits adalah cacat tersembunyi yang dapat menodai kesahihan suatu hadits, yaitu :
a.       Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur (tidak disebutkan) sahabat yang meriwayatkannya. Hadits seperti ini disebut hadits mursal.
b.      Hadits bersambung (hadits muttashil) yang gugur salah seorang rawinya. Hadits seperti ini disebut hadits munqathi’.
c.       Adanya sisipan yang terdapat pada matan hadits.

Kejanggalan Hadits

Kejanggalan hadits terletak pada adanya perlawanan antara suatu hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang maqbul (dapat diterima) dengan hadits yang diriwayatkan oleh rawi yang lebih rajih (kuat), disebabkan adanya kelebihan jumlah sanad atau kelebihan dalam ke-dlabith-an rawinya atau adanya segi-segi tarjih yang lain.

Klasifikasi Hadits Sahih :

Hadits sahih dibagi menjadi dua bagian : sahih li-dzatih dan sahih li-ghairih.

Sahih li-dzatih adalah hadits sahih yang memenuhi syarat-syarat hadits sahih diatas.
Sahih li-ghairih adalah hadits sahih yang diantara perawinya ada yang kurang dlabith, tetapi mempunyai sanad lain yang lebih dlabith.

B. Hadits Hasan

Hadits hasan adalah hadits yang dinukilkan oleh seorang adil, (tapi) tak begitu kokoh ingatannya (kurang dlabith), bersambung-sambung sanadnya dan tidak terdapat ‘illat serta kejanggalan pada matannya.

Klasifikasi hadits hasan : hasan lidzatih dan hasan li-ghairih.

Hadits hasan li-dzatih adalah hadits hasan yang memenuhi syarat hadits hasan diatas.

Hadits hasan li-ghairih adalah hadits yang sanadnya tidak sepi dari seorang yang tidak nyata keahliannya, bukan pelupa yang banyak salahnya, tidak tampak adanya sebab yang menjadikannya fasik dan matan haditsnya adalah baik berdasarkan periwayatan yang semisal dan semakna dari sesuatu segi yang lain.

Hadits hasan derajadnya dibawah hadits sahih.

Menurut Imam Turmudzi dan Ibnu Taimiyah hadits hasan adalah hadits yang banyak jalan datangnya dan tidak ada dalam sanadnya yang tertuduh dusta dan tidak pula janggal (syadz).

Dibawah hadits hasan ada yang lebih rendah derajadnya yaitu hadits dhaif.

Menurut Imam Nawawi : “Hadits dhaif yang banyak jalan dan saling menguatkan bisa naik menjadi hadits hasan”. Yaitu hasan li-ghairih, tapi ke dhaifannya bukan karena ada rawi yang tertuduh dusta atau fasiq. Maka dengan demikian dapat diamalkan berdasarkan kumpulannya, bukan berdasarkan kepada satu per satunya.


C. Hadits Dhaif

Hadits dhaif adalah hadits yang kehilangan satu syarat atau lebih dari syarat-syarat hadits sahih atau hadits hasan.

Berdasarkan dapat diterima atau ditolak sebagai hujjah hadits diklasifikasikan menjadi dua yaitu :
a.       Hadits Maqbul : yaitu hadits yang dapat diterima
b.      Hadits Mardud : yaitu hadits yang ditolak dan tidak dapat diterima.

Hadits sahih dan hasan adalah hadits yang maqbul.
Yang termasuk hadits mardud (ditolak) adalah segala macam hadits dhaif

Klasifikasi hadits dhaif :
a.    Dari jurusan sanad, dibagi dua
Pertama :  Cacat pada rawi, tentang keadilan dan kedlabitannya.
      Kedua   :  Sanadnya tidak bersambung, karena ada rawi yang digugurkan atau tidak bertemu satu sama lain.
          
Pertama, cacat pada keadilan dan ke dlabitan rawi ada 10 macam : 
1.      Dusta, hadits dhaif yang karena rawinya dusta, disebut Hadits maudlu’
2.      Tertuduh dusta, hadits dhaif yang rawinya tertuduh dusta disebut hadits matruk.
3.      Fasik, yaitu pelaku dosa besar, atau melakukan dosa kecil dengan terang-terangan dan sering.
4.      Banyak salah, yaitu dalam meriwayatkan haditsnya.
5.      Lengah dalam hafalan, hadits dhaif yang karena rawinya fasik, banyak salah dan lengah disebut hadits munkar.
6.      Banyak purbasangka (waham), hadits dhaif yang karena rawinya waham disebut hadits mu’allal.
7.      Menyalahi riwayat orang kepercayaan;
-         Dengan penambahan suatu sisipan, disebut hadits mudraj.
-         Dengan memutarbalikkan, disebut hadits maqlub.
-         Dengan menukar-nukar rawi, disebut hadits mudltharib.
-         Dengan perubahan syakal huruf, disebut hadits muharraf.
-         Dengan perubahan titik-titik kata, disebut hadits mushahhaf.
8.      Tidak diketahui identitasnya (jahalah), disebut hadits mubham.
9.      Penganut bid’ah (sekte sempalan), hadits dhaif yang rawinya penganut bid’ah disebut hadits mardud.
10.  Tidak baik hafalannya, disebut hadits syadz dan mukhtalith.

Kedua   :  Cacat karena sanadnya ada yang gugur :
1.      Yang digugurkan sanad pertama, disebut hadits mu’allaq.
2.      Yang digugurkan sanad terakhir (sahabat), disebut hadits mursal.
3.      Yang digugurkan dua orang rawi atau lebih berturut-turut, disebut hadits mu’dlal.
4.      Yang digugurkan tidak berturut-turut, disebut hadits munqathi.

b.      Dari jurusan matan, dibagi dua :
1.      Hadits mauquf, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan sahabat tidak sampai kepada Nabi, misalnya “Berkata Umar …..”
2.      Hadits maqthu’, yaitu hadits yang disandarkan hanya sampai kepada perkataan tabi’in, misalnya, “Berkata Said Ibn Musayyab ….. “


Pembagian hadits berdarkan banyaknya jalur periwayatan (sanad)
a.       Hadits Mutawatir
b.      Hadsis Masyhur
c.       Hadits Ahad
-   hadits azis
-   hadits gharib

Hadits Mutawatir adalah hadits yang diriwayatkan oleh banyak orang yang tidak mungkin bahwa mereka itu telah sepakat untuk berdusta. Syarat hadits mutawatir :
1.      Hadits yang diriwayatkan berdasarkan pendengaran atau penglihatan sendiri, bukan dari hasil pemikiran, rangkuman atau dugaan.
2.      Jumlah rawi-rawinya harus mencapai bilangan yang mampu mencapai ilmu’dl-dlarury (meyakinkan).
3.      Ada keseimbangan antara rawi-rawi dalam lapisan pertama dengan jumlah rawi-rawi pada lapisan berikutnya. Misalnya ada hadits yang diriwayatkan oleh 10 orang sahabat kemudian diriwayatkan oleh 5 orang tabiin dan seterusnya diriwayatkan oleh 3 orang tabi’it-tabi’in maka hadits tersebut tidak termasuk hadits mutawatir, karena jumlah rawi-rawinya tidak seimbang antara lapisan pertama dengan lapisan kedua dan ketiga.
Kitab yang menghimpun segala hadits mutawatir yang terkenal adalah kitab Al-Azharu’l Mutanatsirah fi’l Akhbari Mutawatirah, karya Imam As Suyuthi (911 H).

Hadits mutawatir memberi faedah ilmu-dlarury, yakni meyakinkan dan harus menerimanya bulat-bulat sesuatu yang diberitakan oleh hadits mutawatir karena membawa kepada keyakinan yang qoth’i (pasti). Rawi-rawi hadits mutawatir tidak perlu lagi diselidiki tentang keadilan dan kedlabithannya.

Hadits Masyhur adalah hadits yang terdiri lapisan perawi yang pertama atau lapisan kedua, dari orang seorang, atau beberapa orang saja. Sesudah itu barulah tersebar luas, dinukilkan oleh segolongan orang yang tak dapat disangka bahwa mereka sepakat untuk berdusta. Jumhur ulama hadits mensyaratkan minimal 3 orang perawi.

Ulama-ulama mazhab hanafi men-takhsis-kan (meng khusus kan) ayat Al-Qur’an yang umum dengan hadits masyhur ini dan menambah hukum-hukum yang belum terdapat dalam Al-Qur’an. Hadits ahad yang belum mencapai derajad hadits masyhur tidak dapat digunakan untuk fungsi ini.

Imam Malik menjadikan hadits ahad pen takh sis Al-Qur’an dengan syarat jika dikuatkan oleh amal penduduk Madinah atau oleh Qiyas.
Imam Syafii dan Imam Ahmad Bin Hanbal menggunakan hadits ahad untuk mentakhsis ayat Al-Qur’an.

Hadits Ahad adalah segala hadits yang diriwayatkan oleh orang seorang atau dua orang atau lebih tetapi tidak cukup terdapat sebab-sebab yang menjadikannya masyhur.

Hadits Azis adalah hadits yang rentetan perawinya terdiri dari dua-dua orang atau pada suatu tingkat terdiri dari dua-dua orang saja.

Hadits Garib adalah hadits yang dalam sanadnya ada seorang rawi yang menyendiri, di lapisan mana saja penyendirian dalam sanad itu terjadi.
Berkata Imam Ahmad Bin Hanbal : “Jangan kamu mencatat hadits hadits gharib, lantaran hadits-hadits gharib itu mungkar-mungkar dan pada umumnya berasal dari orang-orang lemah”.


Pembagian Hadits yang bersambung sanadnya :
a.    Hadits Musnad, yaitu tiap-tiap hadits marfu’ yang sanadnya bersambung
b.      Hadits Muttashil/Maushul, yaitu hadits yang bersambung sanadnya, ada yang marfu’, mauquf atau maqthu’

5.2.      Berhujah dengan hadits / Mengamalkan Hadits

A.     Hadits Mutawatir
Mutlak harus diterima bulat-bulat, karena memberikan keyakinan secara ilmul-dlarury.

B.     Hadits Masyhur 
Mutlak dapat dipakai hujjah atau diamalkan, dapat dijadikan pen-takhsish (meng khususkan) ayat Al-Qur’an yang umum (‘Am)

C.     Hadits Ahad
Apabila sahih mempunyai sifat dapat diterima yang tinngi,  apabila hasan mempunyai sifat dapat diterima yang menengah / rendah, dapat diamalkan dalam urusan-urusan amal bukan dalam urusan i’tiqad.
Imam Abu Hanifah menolak hadits ahad untuk men takhsis dan menasakh ayat Al-Qur’an.
Imam Malik menjadikan hadits ahad untuk men takhsish dan menasakh Al-Qur’an jika dikuatkan oleh amalan penduduk Madinah atau oleh qiyas.
Imam Syafi’i dan Imam Ahmad Bin Hanbal menjadikan semua hadits ahad untuk men takhsish Al-Qur’an.

D.     Hadits Dha’if
Dalam hal berhujah dengan / mengamalkan hadits dha’if, terbagi dalam 3 pendapat :
a.       Melarang secara mutlak , itu pendapat Imam Bukhary dan Abu Bakar Ibnu Araby.
b.      Membolehkan, yaitu bila dha’ifnya tidak terlalu dan khusus untuk menerangkan fadlilah amal, yang isinya mendorong berbuat baik, mencegah perbuatan buruk, cerita-cerita dan perkara-perkara mubah. Bukan untuk menetapkan masalah hukum-hukum syariat seperti halal-haram, akidah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad Bin Hanbal, Abdurrahman Bin Mahdy, Abdullah Ibn Mubarak, mereka berkata :
“Apabila kami meriwayatkan hadits tentang halal, haram dan hukum-hukum, kami perkeras sanad-sanadnya dan kami kritik rawi-rawinya. Tetapi bila kami meriwayatkan tentang keutamaan, pahala dan siksa, kami permudah sanadnya dan kami perlunak rawi-rawinya”

Al Hafidz Ibnu Hajar Asqolany membolehkan berhujah dengan hadits dha’if untuk keutamaan amal, dengan memberikan 3 syarat :
1.      Hadits Dha’if yang tidak terlalu. Dha’if yang karena rawinya pendusta, tertuduh dusta dan banyak salah tidak dapat dijadikan hujjah.
2.      Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits tersebut masih selaras dengan dasar yang dibenarkan oleh hadits yang lebih sahih.
3.      Dalam mengamalkannya tidak meng ‘itiqadkan bahwa hadits tersebut benar benar dari Nabi, tetapi tujuannya mengamalkan hanya semata-mata untuk ikhtiyat (hati-hati).

E.      Hadits Mursal
Hadits mursal adalah hadits yang gugur perawi pada tingkatan sahabat. Jadi perawi tabi’in tidak menyebutkan nama sahabat yang meriwayatkan hadits kepadanya.

Bila perawi yang gugur (tidak disebutkan) sebelum sahabat , baik tabi’in atau selainnya, bila satu orang yang gugur dinamakan hadits munqathi’, bila dua orang yang gugur disebut hadits mu’dlal.

Berhujah dengan hadits Mursal, terdapat perbedaan pendapat, sebagian menolak dan menganggapnya sebagai hadits dha’if, sebagian menerima dan menganggapnya sebagai hadits musnad, tetapi jumhur ulama hadits menerima hadits mursal tapi dengan syarat;

Imam Abu Hanifah menerima hadits mursal, bila yang meng irsal kan itu sahabat atau tabi’in. Irsal yang sesudah tabi’it-tabi’in ditolak.

Imam Malik menerima segala hadits mursal dari orang yang kepercayaan (tsiqoh).
Imam Syafi’ii hanya menerima hadits mursal dari periwayatan Said Bin Musayyab dan Hasan Al Basri.
Imam Ahmad Bin Hanbal lebih mengutamakan fatwa sahabat dari pada menerima hadits mursal.

5.3.   Bagan Jenis / Derajad Hadits


                                        Bagan

                            Jenis / Derajad Hadits


  I. Mutawatir                II. Masyhur                               III. Ahad
Ada yang Maqbul ada yang Mardud


                                                        Maqbul                                                                              Mardud             


                           1. Sahih                     2. Hasan   3. Dhaif *)         5. Masyhur          3. Dhaif       4. Maudlu      
                                                                                                        6. Azis